Jumat, Juni 14, 2013
Filosofi Air Sungai 3

Ternyata air sungai itu kini sudah dibeli oleh orang lain, oleh salah satu orang yang membangun rumah di sekitarnya. Harganya pun mahal, puluhan hingga sampai ratusan juta. tidak, berjuta-juta kalau menurut saya.

Bukan harus pergi
Bukan harus mengusir mereka-mereka
Bukan harus merawat air sungai itu

Saya pun tidak harus pergi, karena mereka mengizinkan saya untuk tetap tinggal disana. Seorang diri. Mungkin, mereka akan menertawakan saya nantinya. Mungkin, mereka akan berubah terhadap saya nanti. Atau mungkin, mereka malah membenci saya.

Saya juga tidak harus mengusir mereka. Karena mereka memilih untuk menetap disana. mereka tidak bisa diganggu gugat.

Dan saya tidak harus merawat air sungai itu karena sekarang pemilik dari sungai itu yang mengurusnya. Memanjakannya. Membuat bendungan di pelatarannya.

Tidak hanya itu. Saya melihat sungai itu kini airnya sudah tenang. Kini di sisi-sisinya dibangun dinding-dinding pembatas antara perumahan dan sungai itu. Dibangun jembatan untuk penyebrang. Catnya warna merah. Dengan bunga mawar di sisi jalannya. Dan kita bisa melihat indahnya dunia dari sana. Gondola-gondola banyak bertebaran di sungai itu karena konon katanya kalau sehabis hujan ada pelangi di antara sungai itu, indah. Hutan bakau yang tadinya ada kini sudah ditebang semua. Berganti dengan suasana kota yang terlihat hectic. Dia sudah menjadi miliknya.

Sebelumnya, saya sempat menata sungai itu agar terlihat indah, agar kelak dia bermuara dengan tenang. Saya beri dia bunga-bunga agar kelak bermekaran dengan indah di sebelah sisi-sisinya. Berwarna merah cerah. Tidak mengatas namakan apa-apa, saya ingin membuatnya hijau dengan kemerah-merahan oleh bunga-bunga yang ada disisi-sisinya.

Namun karena sesuatu, dan saya pun baru saja menatanya. Seorang kaya miliuner datang membangun rumah, dan melihat sungai itu, dan akhirnya di beli. Dia sudah menjadi miliknya.

Lalu saya tidak boleh pergi dari kota ini. membiarkan saya hidup diantara tawa mereka. Saya seperti seorang pecundang. Namun saya berani diadu, cinta dan kasih saya untuk sungai itu bisa melebihi sang miliuner.

Kini apa yang harus saya lakukan? Terjebak dalam kota yang hectic juga sungai yang sudah menjadi miliknya. Saya hanya bisa berjalan tanpa tujuan.

Ternyata jalan masih panjang, di kota itu saya bertemu dengan seseorang yang ternyata kini menjadi teman. Dia menasehati saya “hey, don’t give up! Coba kamu tata kehidupan kamu sendiri, kalau sudah di tata pelan-pelan, kelak masa depan akan kamu genggam dan kamu bisa beli sungai itu atau sekalian kamu beli seluruh isi kota ini. biarkan orang lain menertawakanmu, karena kelak kamu yang akan beli tawa mereka”

Dia juga memberitahukan ada rumah yang pernah kau singgah disana sebelumnya yang mungkin itu adalah tujuan saya selama ini. mungkin rumah itu kini sudah benar-benar terawat. Ada taman di pekarangannya. Catnya tidak mudah luntur. Gerbangnya tinggi sampai rumah itu tidak terlihat.

Namun dia berkata, rumah itu hampir tidak terawat. Taman yang cantik sebelumnya sebagian sudah digerogoti oleh tikus-tikus tanah. Catnya mudah luntur namun selalu di cat ulang. Gerbangnya memang masih tinggi sampai sekarang. Rumah itu kemungkinan akan di jual.

Mungkin saya harus menemui rumah itu. Mungkin saya harus menyeberangi sungai ini dan pergi ke kota sebelah. Rumah itu seperti susunan puzzle. Selama saya hidup, kepingan-kepingan puzzle itu seperti menemukan saya. Atau saya selalu menemukan kepingan-kepingan puzzle itu. Saya harus menyusun kepingan-kepingan puzzle itu hingga menjadi rumah yang utuh.

Mungkin, rumah itu adalah tujuan saya hidup selama ini. dan untuk sementara, nikmatilah lara.
0 Comments:

Posting Komentar

blog-indonesia.com