Sabtu, Juni 08, 2013
Filosofi Air Sungai 2

Kini air sungai itu benar-benar deras. Dia mampu membawa saya ke hulu dengan jurang yang curam. Dia mampu mengkeruhkan apa saja. Dia mampu membuat saya basah kuyup tak karuan, kedinginan. Bahkan dia mampu menghanyutkan siapa saja yang berada di arusnya. Dia benar-benar deras.

Mungkin karena sedang musim hujan, jadinya airnya deras. Mungkin karena sedang musim hujan, jadinya airnya dingin. Mungkin karena sedang musim hujan, jadinya airnya keruh. Mungkin karena sedang musim hujan, dia bisa saja tiba-tiba mengamuk.

Kini sulit sekali memprediksi aliran air sungai ini. hutan-hutan di sekililingnya tetap bersahabat, namun tiba-tiba kini bertambah liar. Saya takut. Sejujurnya.

Di sekitar air sungai itu, kini tumbuh rumput-rumput liar. Hutan-hutan bakaunya kini menjadi lebih mengerikan dibandingkan kemarin. Orang-orang yang berada dipinggirannya kini jadi lebih sering menetap, membangun perkemahan, mendirikan tenda sambil memasak apa saja yang bisa di masak untuk dimakan, bahkan diantaranya mendirikan rumah.

Kini si air sungai ini berubah menjadi sangat ramai. Sedangkan saya, hanya orang sendirian diantara kerumunan. Air sungai kini bisa jauh dari rasa nyaman saya.

Apakah kini saya harus pergi?
Apakah kini saya harus mengusir mereka-mereka?
Apakah kini saya harus merawat air sungai itu?
Apakah kini…

Ah sudahlah pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab dengan saya sendiri.

Tapi kalau anda mau menjawab pertanyaan tersebut, mari kita misalkan saja…

Kalau saya harus pergi, air sungai itu tak pernah lagi jadi manfaat bagi saya. Tidak, tidak, mungkin saya hanya bisa mengenang bagaimana pertamakalinya saya menemukan air sungai itu. Orang-orang disana akan mendirikan rumah lebih banyak lagi, dengan tembok-tembok yang membatasi ruang atau mungkin juga akan membatasi air sungai itu. Rumput-rumput liar akan semakin tumbuh membentuk ilalang-ilalang yang semakin liar dan tinggi. Air sungai itu jadi tidak terawat, terkesan kumuh.

Atau mungkin begini, air sungai itu akan semakin dijaga dan dilestarikan oleh orang-orang disekitarnya. Mempercantik air sungai tersebut dengan hiasan-hiasan, mengadakan pameran, dijadikan tempat pariwisata. Rumput-rumput liar disekitarnya tentu selalu dibersihkan. Dan saya rasa, airnya akan tenang. Ya walaupun saya tau, tidak ada lagi hutan belantara di sekitarnya.

Mari kita jawab pertanyaan berikutnya, jangan dulu yang kedua, tapi yang ketiga dulu saja…

Kalau saya harus merawat air sungai itu, maka saya akan tampak bodoh. Ingat, jaman sekarang mana ada orang yang mau merawat air sungai tanpa di gaji? Atau merawat air sungai sendirian sedangkan orang-orang disekitarnya terus membangun rumah, terus mengotori air sungai itu, terus-terusan tergerus oleh suasana modern. Menurut saya, modern adalah perkembangan dari yang tadinya tradisional menjadi tidak lagi alami. Dan saya benci itu. Meskipun saya bukan orang yang apatis.

Namun sekali lagi, pikirkan… apa saya mampu sendirian mengurusi air sungai tersebut? Memperjuangkan apa yang seharusnya bukan kewajiban saya memperjuangkannya?

Jadi mari kita jawab yang kedua…

Apakah saya harus mengusir mereka? Jika saat ini saya mampu, mungkin hanya keajaiban yang bisa. Arus kota ternyata lebih tajam dibandingkan arus sungai tadi. Dan saya, kini sedang bertahan dalam arus kota tersebut, saya melihat arus sungai masih saja deras. Saya hanya bisa diam.

Kenapa saya hanya bisa diam? Kata mereka saya berperilaku tidak mengenakan bagi air sungai tersebut. Kata mereka, segera akan menemukan keindahan kelak, mungkin bukan di air sungai ini. mungkin disuatu tempat. Dan kesedihanmu akan terbayar lunas ketika kamu berjalan.

Itu kata mereka…

Pilihannya… saya berjalan menyusuri sungai ini sambil terus bertahan di arus kota yang cepat dan mungkin akan tenang ketika kita menikmatinya. Saya berjalan meninggalkan air sungai ini juga dari kehidupan arus kota yang mungkin nanti tidak cocok dengan saya. Atau mungkin, saya memilih untuk berjalan menyebrangi air sungai ini, kalau begitu diantaranya saya bisa saja membangun jembatan atau menunggu seseorang membangun jembatan untuk keseberang?

Bagaimanapun juga, yang saya hadapi kini adalah air sungai yang arusnya deras, keruh, juga dingin. Lalu, saya yang hanya berharap ini akan segera berakhir. Tapi, kapan? Lagi-lagi hanya waktu. Semuanya dimenangkan oleh waktu. Tidak ada yang bisa mengalahkan waktu. Karena yang tidak diam dengan kita hanya waktu.
0 Comments:

Posting Komentar

blog-indonesia.com