Minggu, November 11, 2012
Yang Terlalu Mengakar
Tidak enak rasanya menulis dalam keadaan perut kosong. Belum makan. Hanya air putih dan lagi-lagi Dirga kecanduan merokok yang beberapa bulan sebelumnya ia sudah mencoba menjauhinya. Dirga bukan malas makan karena merokok, bukan juga karena ketagihan merokok bagai ketagihan narkotik. Tidak. Ini semua gara-gara hujan di bulan November.

Dirga menulis sebuah novel tepat pukul 01:00 atau satu jam lebih dari pukul 00:00 di sebuah ruangan tiga kali empat kamar kos-kosan pria. Dikala hari sudah berganti, dimana hari itu pergantian dari minggu pertama ke minggu kedua di bulan November. Semua karena perut Dirga yang kumat kalau memasuki jam tengah malam begini.

Di luar, langit pada pukul 01:00 sangat suram, buram, apalagi ditambah turun hujan. Dirga terpaksa hanya bisa minum air putih, cemilan habis, terpaksa terpaku pada laptop dengan tivi yang masih menyala. Boros. Dan kecanduan merokok. Sekali lagi ia boros terhadap kesehatannya. “Aaaah, pengen gue ilangin kecanduan rokok!” bisik Dirga pada hati kecilnya. Namun tetap saja sebatang rokok dihisapnya hingga menjadi puntung. Dulu ia bisa menghilangkan kecanduannya, sekarang semakin ingin menghilangkan, semakin mencari rokok itu lagi. Kata orang, sulit menghilangkan kecanduan merokok. Lebih sulit ketimbang menghilangkan kecanduan nge-bir.

Semakin subuh... winamp dinyalakan, di playlist terdapat lagu-lagu yang biasa Dirga dengarkan kalau sedang stuck, berharap dapat inspirasi-inspirasi pada tulisan novelnya yang baru saja memulai paragraf pertama. Berharap ada ide yang lain. Berharap dan terus berharap. Kalau main bola, dan mencetak gol, perlu selebrasi yang WAH. Dirga adalah pencetak mimpi. Pencetak mimpi bukanlah sesuatu yang WAH, pencetak mimpi tak ubahnya seperti penjual jamu awet muda di jaman teknologi serba instan dan canggih.

Di luar, hujan sedikit demi sedikit berhenti, hanya gerimis jatuh ketanah seperti air mata seorang TKI sebelum bunuh diri di negeri yang antah berantah. Mata Dirga masih terpaku pada laptop. Rokok menjadi puntung. Air putih dari galon di tuangkan lagi ke gelas. Tivi masih menyala. Begitu juga nyala lampu kamar kosnya. Asbak yang penuh dengan puntung rokok tentunya. Dan insomnia pula. Dirga benar-benar tidak sehat secara alamiah.

Dirga sedang banyak pikiran. Ia malas kalau harus berhadapan dengan buku pelajaran. Ia jijik menghadapi kenyataan kalau besok siang ada ujian Statiska di kampusnya. Dosen Statiska Dirga tidak pernah ramah dengan mahasiswanya. Atau... karena ini bulan November? November selalu berbeda menurutnya. Desember, Juli, Maret, atau Februari, tetap tidak bisa mengalahkan pencarian Dirga pada bulan November. November yang selalu memutarkan pikirannya pada seorang gadis yang pernah ada bersamanya. November yang selalu di tiap tahun membuatnya teringat pada tahun-tahun sebelumnya. November yang bisa berubah menjadi hangat pada hatinya. November yang tiap hujan-hujannya milik seseorang yang sering muncul menjadi tokoh utama di film Serendipity. November yang terlalu mengakar diperasaan. Ada apa ini?

Kenyang dengan inspirasi-inspirasi di bulan November untuk novelnya, bukan kenyang dengan nasi... dengan keadaan seperti ini, malah ingin muntah rasanya!

Hanya jawaban dangkal ini yang ia tahu: November yang terlalu mengakar!

Seakan di pukul dari belakang, ia menemukan ide untuk paragraf pertamanya. Ya! Sesuatu yang kebetulan terbesit di pikirannya. Tentang ulang tahun Sofia di bulan November, seorang gadis yang daritadi tersenyum-senyum di dalam pikirannya. Sofia yang kini jejaknya hilang di hapus hujan. Hanya Sofia yang selalu ia tunggu untuk bertemu kedua kalinya, ketiga kalinya, keempat kalinya, dan seterusnya, dan seterusnya. Maklum, Waktu itu Dirga bersama Sofia menjalin hubungan bermiliaran jaraknya. Hanya feeling yang selalu menentukan perasaan mereka berdua. Mereka tidak biasa menepis luka. Berkomunikasi melalui Handphone. Mereka sering berchit-chat lewat jejaring sosial di dunia maya, mereka berdua seolah larut dalam hiruk pikuk, lalu ketika kembali dari dunia maya, mereka tersadar bahwa mereka sendiri. terkurung dalam ruangan, tanpa teman. Satu atau dua kali dalam satu tahun mereka bertemu. Tentu membuat pori-pori mereka haus akan sentuhan nyata. Selalu bersembunyi di satu waktu. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan lagi. Terlalu sulit untuk berada diantara lingkaran setan yang bernama jarak. Pandangan mata tidak sama dengan feeling, dan hati tidak bisa sekukuh baja. Sampai saat itu, Dirga belum menemukan seorang yang lain yang sanggup mengganti gadis itu yang pernah bersamanya dulu.

Meskipun roman picisan yang ia tulis selama ini tidak bisa membawanya menemui gadis itu. Sekalipun ia bertanya-tanya kesana-kemari namun tidak menemui jawaban. Hatinya sudah menyerah, namun kemauannya masih bersikukuh untuk mencarinya, sampai bisa menemukannya. Dirga sendiri bingung, mengapa kemauannya itu seperti ini? Tidak bisa ditahan. Pantas saja Einstein pernah berkata, kemauan manusia adalah sebuah satu kesatuan mekanis yang jauh lebih kuat daripada tenaga uap, listrik dan energi.

‘Its hard to forget someone who gave me so much to remember...’, sebaris kalimat itulah yang ia tulis di paragfar pertama. Seolah itu adalah sebaris kalimat untuk permulaan yang pas menggambarkan betapa sulitnya takdir yang ia terima. ‘...I miss you all day’, lanjutnya pada baris kedua. Dua setengah tahun ternyata tidak bisa menghapus kenangan-kenangan itu. Dua setengah tahun gadisnya menghilang begitu saja. Keadaannya selama dua setengah tahun di tulisnya dalam dua baris kalimat di paragraf pertama.

Dulu, saat pertama kali bertemu, Sofia bagaikan malaikat yang muncul ditengah-tengah padang rembulan. Ketika mereka berhadapan, mata mereka saling menatap tanpa tertangkap mata orang-orang yang tamak. Mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda dari orang-orang yang biasanya melihat dunia. Inilah yang membuat Dirga jatuh cinta terhadap Sofia. Karena Sofia berbeda, sementara semua orang terlihat sama.

“Because everyone else is boring, and you’re different..”, tulis Dirga pada paragraf selanjutnya.

Dirga meminum air putih yang tadi telah diisinya. Haus. Ia terlalu haus. Berlari. Karena otaknya berlari kesana kemari. Memikirkan takdir. Takdir yang selama ini sudah terjadi bahkan menjadi arah tujuan hidupnya. Kenapa rasa penyesalan selalu datangnya terlambat daripada takdir yang datangnya lebih dahulu?

Tangan kanannya seolah bekerja sama dengan kedua jari telunjuk dan tengah mengambil sebatang rokok dari dalam kotak bertuliskan “Marlboro”. Sambil mencoba menahan emosi terhadap tulisannya. Sambil mencoba menahan segala perasaan yang ingin dia tumpahkan di tulisannya. Karena yang Dirga tahu, semakin manusia menumpahkan perasaannya terhadap tulisannya sendiri, semakin terbuka lagi kenangan masa lalunya.

Lalu api mulai menyala dari korek gas, dihisap lagi sebatang rokok yang entah sudah berapa nikotin yang telah masuk merusak paru-parunya. Sulit dihentikan, karena nikotin ini rasanya sama seperti kemarin. Seperti kemarin. Lebih seperti kemarin. Rasanya sama seperti dua setengah tahun yang lalu. Dapat menenangkan pikiran. Dapat menjalani kondisi yang apa adanya. Tidak terlau gegabah karena ada manusia yang lain disana yang meredamkannya. Hidup berpasangan dengan lawan jenis sangat menyenangkan daripada hanya sendirian. Bahkan berpasangan yang fisiknya terikat jarak. Hal ini baru Dirga sadari ketika menulis di paragraf demi paragraf.

“Around Us” lagu dari Jonsi seakan memberitahukannya, kalau dulu ia kurang bersyukur. Meski tidak ada hubungannya dengan lagunya, liriknya, serta apa yang dialami Jonsi ketika menciptakan lagu ini. Alunan lagunya lah yang telah membuka kotak-kotak pikirannya. Kotak-kotak yang selama ini ia sengaja pendam ke dasar yang paling dalam.

Belum sadar, Dirga kembali meminum air putih sambil menghisap rokok, dan kembali menulis paragraf demi paragraf. Seolah telah menjadi ritual baru yang dirasakannya. Sesekali pikirannya seperti mesin waktu yang selalu memutar ke masa lalu yang ia rasa ia harus menghilangkannya, namun mesin waktu atau pikirannya belum bisa terhapus. Dirga ibarat laptop kena virus, yang pemiliknya tidak mau memformatnya.

Tulisan demi tulisan ia rangkai, seolah tulisannya ingin bilang, pikiran ini sudah terlalu lama. Sudah menjamur bahkan mengakar sampai ke ubun-ubun. Saking lamanya, selalu terasa seperti kemarin.

Semakin paragraf demi paragraf ditulisnya, maka semakin hyperballad saja tulisan-tulisannya. Pandangannya fokus pada rangkaian tulisannya. Sebenarnya ia sedang menatap masa depan. Boleh saja berbalik pada masa lalu, pikirnya. Tapi masa depan, siapa yang tahu?

Rokok kembali dihisap...tak akan berhenti dihisap olehnya sampai menjadi puntung... tak peduli berapa banyak nikotin yang masuk paru-parunya. Yang kata orang kedokteran itu adalah penyakit... bisa menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Tentu saja, bagi pria macam Dirga, ia tidak mau impoten. Dan jika boleh jujur, hanya cinta obatnya..

It’s sucks...

Kepala Dirga di pukul lagi dari belakang, kali ini ingatannya bergulir deras. Sederas air terjun Niagara di Kanada yang ia katakan kepada Sofia dulu bahwa cintanya sederas air terjun itu. Air terjun yang sangat besar di muka bumi itu telah menjadi inspirasi cintanya terhadap Sofia. Sebesar itulah rasa cintanya terhadap Sofia.

Tidak satu pun terbesit pikiran Dirga untuk mengunjungi kota Venesia di Italia yang terkenal dengan perahu gondola itu membuat pasangan harus berciuman dibawah jembatan sebagai lambang cinta abadi. Tidak juga terbesit untuk ke Paris di Perancis yang konon katanya di malam hari lampu-lampu di menara Eiffel mendadak memanjakan pasangan yang sedang kasmaran. Hanya Niagara tujuannya. Niagara di negara Kanada, ingin sekali membawa Sofia kesana. Ingin sekali mencium bibirnya yang tipis di bawah air terjun itu, ingin sekedar berfoto mesra sambil memeluk tubuhnya yang memiliki sentuhan magis bila Dirga menangis, ingin sekali menyeka rambutnya yang pendek sebahu saat diterpa air terjun itu, atau ingin sekali menyatakan “i’ll be marry you, Sofia!” di bawah air terjun terbesar di dunia itu. Romantis bukan? Sekali lagi, hanya ingin. Karena hubungannya berakhir sebelum mencapai tingginya air terjun Niagara.

Dirga terus menulis dengan perasaan campur aduk. Novelnya sudah setengah jadi satu bab. Kata demi kata terangkai sempurna, kalimat demi kalimat tersusun ketat, paragraf demi paragraf menyatu dengan mantap. Hingga tersusunlah sebuah cerita yang benar-benar hyperballad. Sebenarnya Dirga tidak ingin mengingat-ingat lagi tentang Sofia, namun itulah yang terjadi di subuh itu. Sel-sel otak Dirga menuntunnya untuk menuliskan semua tentang Sofia. Sungguh rasa idealisme manusia tidak bisa mengalahkan perasaannya yang telah mengakar sejak dulu.

Tiba-tiba Dirga berhenti menulis, padahal tinggal meluruskan kalimat-kalimat yang ia susun. Kepalanya melihat keatas langit-langit kamar, berharap tidak ada yang memukulnya dari belakang lagi. Ia mengeluarkan napasnya yang masih berbau nikotin. Lalu tertunduk lesu, dari bokong sampai punggung terasa pegal. Dirga kembali mengambil rokoknya. Dibakarnya lagi satu rokok yang nilai tar-nya 13MG. Tidak peduli seberapa bahayanya jika dihisap terus menerus. Lebih baik mati perlahan-lahan daripada ia menunggu orang yang perlahan-lahan semakin nyata namun tidak kelihatan wujudnya. Ia tidak tahu harus berapa lama seperti ini. Ia pun tidak tahu kalimat apa yang harus diluruskan untuk mengakhiri bab pertama di novelnya.

Asbak sudah penuh dengan puntung rokok. Sengaja ia tidak mengosongkannya selaras dengan pikirannya yang tidak ingin dikosongkan. Biarlah asbak penuh dengan puntung dan ampas rokok. Karena hanya itu teman ia pada subuh itu. Biarlah tulisannya menceritakan semuanya. Tulisan bukan ucapan yang tidak bisa menyangkal. Biarlah November selalu mengakar dalam ingatannya. Meski keadaanya rumit dan berliku.

Di luar, langit sudah berubah. Yang tadinya hitam kelam menjadi setengah biru, mengendap seiring langkah-langkah detik yang menjadikan langit tampak abu-abu sekarang, lalu sedikit demi sedikit benar-benar biru sebiru air terjun Niagara. Sang raja langit keluar dari tempat persembunyian di ufuk, tanpa terpaksa memberi kehidupan bagi para ayam-ayam yang rakus mendapatkan cacing pertama. Dalam keadaan setengah sadar, sambil benar-benar memikirkan kalimat terakhir untuk meluruskan di bab pertama sebelum lanjut ke bab kedua. Matanya yang masih tertuju pada langit-langit kamar sambil melihat asap yang dikeluarkan dari mulut berbau nikotin bergerombol diatas sana, diusik oleh bunyi suara yang sempat membingungkannya.

Suara itu alarm reminder di handphone Dirga yang memberitahu di pukul 06:00 selalu mengingatkan ada yang ulang tahun, harus diucapkan jam segitu, hari ulang tahun Sofia. Ia tidak sengaja membuat reminder ulang tahun di handphonenya, karena ia tidak mau melewatkan momen mengucapkan selamat ulang tahun pada orang-orang terdekatnya. Kali ini, orang yang sedang berulang tahun adalah Sofia. Kebetulan pula Sofia selalu bangun tepat pukul 06:00 pagi. Ia yang dulu membangunkan Dirga pada jam segitu.

Dirga dihadapkan pada dua pilihan, mengirim pesan singkat selamat ulang tahun pada Sofia, atau tidak mengirim mengucapkan dan memilih melanjutkan menulis novel tentang Sofia sampai tamat?

Dirga tersadar akan satu hal, ia mungkin bukan orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Sofia. Padahal ia selalu jadi orang yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun pada orang-orang terdekatnya.

Ia memilih untuk tidak mengucapkannya, tapi juga tidak meneruskan menulis novelnya. Ia tidak pernah menulis novel tentang Sofia sampai tamat.

Di luar, tampak langit tidak lagi gelap, gerimis berhenti menderap, kini benar-benar terang sekejap. Rokok terakhir sudah habis dibakar. Sayang, Dirga tak sempat menyaksikan sang raja langit. Ia malah sibuk berlari ke dermaga senja, akhir dari sebuah perkara. Sesampainya disana, langsung menyiapkan perahu yang sudah jadi dengan bendera berwarna merah marun bergambar daun Maple yang terpasang dipancang tiang utama perahu. Beberapa kayu dari kepingan masa lalu ia pungut hingga bisa menjadi dayung. Ia tak henti mendayung sampai keujung. Mengikuti aliran air yang akan bermuara ke air terjun Niagara.



0 Comments:

Posting Komentar

blog-indonesia.com